Tuesday, February 10, 2015

Ajariku Caranya Bersyukur

Hujan. Matahari bahkan kembali ke peraduannya lebih awal. Jalanan sepi. Hanya ramai gemuruh rintik gerimis turun bergantian. Angin saliing bersautan tapi telinga hanya mendengar bising dari dedaunan yang bergesekan satu sama lain. Sulit rasanya bersyukur, ada di dalam rumah dengan nyaman di balik selimut, sementara di tengah kota sana mereka kebanjiran. Jangankan berleha-leha di atas kasur menikmati dinginnya cuaca hingga tertidur, sedetik saja mereka melewatkannya tanpa bersiaga habis sudah semua harta benda yang mungkin mereka kumpulkan mati-matian. 

Sulit rasanya bersyukur. Ditengah derasnya hujan, banjir, ribuan orang kedinginan karena persiapan baju yang mereka punya mulai habis. Aku? Harusnya aku bersyukur, sampai detik ini bisa bernafas tanpa harus ketakutan kehabisan pakaian, bahkan berebut makanan seperti mereka demi bertahan hidup.

Disini, di rumah yang justru jauh lebih nyaman daripada di luar aku mengeluh lagi untuk yang kesekian kali. Ini hari kosong entah yang keberapa sampai aku takut menghitungnya. Tapi, mau tak mau aku menghitung. Terlanjur beban pada orangtua, sebesar ini belum juga memberi apa-apa. Sementara orang berjuang menerjang banjir, menghalau hujan demi sesuap nasi untuk keluarga mereka, aku hanya merenung memikirkan dan selalu memikirkan bagaimana caranya aku juga bisa. Lalu kembali tak bersyukur. 

Padahal rumah mewah, mobil mahal, barang-barang bermerek tak ada artinya jika mereka sedang diantara bencana. Hanya bisa mengadah pada orang yang walaupun secara materi lebih susah, tapi masih mampu untuk memberi.

Mungkin memang mengeluh jauh lebih mudah daripada menyukuri yang sudah kau punya. Mungkin memang melihat ke atas jauh lebih mengesankan daripada melihat ke bawah dan mencari alasan untuk tidak mengeluh. Itu aku. Dan mungkin seumur hidupku, kulewati setiap harinya dengan mengeluh dan menuntut.

Ternyata hujan masih saja gerimis, dan aku melamun di daun jendela.

Hidup di dunia harta adalah tujuan. Jabatan menjadi takaran kehebatan seseorang. Dan memiliki uang banyak menjadi keharusan. Orang kekurangan, orang butuh bantuan, bukannya mendapat uluran tangan, justru kebanyakan sebelah mata orang besar memandang mereka. Mungkin aku satu diantara jutaan manusia yang juga berfikir seperti itu. Sederhananya aku ingin jadi orang kaya agar kelak orangtuaku bangga dan aku bisa membahagiakan keluarga dengan hamburan uangku. Dan itu yang akhirnya menjadi bebanku sekarang, pemikiranku sendiri. Padahal, Allah yang maha kaya pun tidak pernah menganggap hambanya tak punya. Jika dia beriman, dia adalah orang yang paling kaya.

Ya Tuhan, ampuni aku, hambaMu yang semoga aku tidak sampai menjadi orang yang kufur nikmat. Aku percaya seusai sabar yang kujalani, selepas perjuangan yang tak pernah berhenti, dan sepanjang doa yang selalu kupanjatkan, pengharapan demi pengharapan yang akan terwujud kemudian. Jika aku tak cukup baik untuk meminta kepadaMu, kumohon dengarkan doa-doa orangtuaku untukku. Aku ada bersama fatamorgana masa depan cerah kelak, jika itu untukku benar, ingatkan padaku agar tidak pernah lupa seperti apa caranya bersyukur.

No comments:

Post a Comment