Monday, October 14, 2013

KOPITIAN

                            
  
“Sini, duduk di sebelahku. Aku ajari kau caranya menyesap kopi.” Tian menepuk sofa di sebelahnya. Ia memperhatikan wanita dengan wajah kuyu berdiri di depannya. Tak ada respon dari wanita itu. Ia seperti mayat hidup yang berjalan. Wanita itu bernama Putri, sahabatnya dari kecil. Mata Putri menerawang, Tian tau jelas pikiran wanita itu tidak disini. “Ini akan meringankan beban pikiranmu,” katanya kemudian. Kali ini berhasil, Putri menggeser badannya lalu duduk di sebelah Tian.

“Dengan minum kopi aku bisa tenang?” Wanita itu menatap bola mata Tian yang berwarna cokelat, dan menantikan jawaban ‘Ya’ darisana.

“Tiap sore aku selalu menyisakan 15 menit dari waktu luangku demi menyesap kopi hangat.” Tian bercerita tentang kebiasaannya. Tidak ada kata-kata yang mengandung jawaban dari ucapannya. Lagipula tak perlu dijelaskan seperti itu,  Putri sudah tau. Tian bahkan bukan hanya minum kopi di sore hari, tapi kapanpun dia merasa suntuk dia selalu meminumnya.

“Kau mau mencoba kopiku? Atau mau aku pesankan satu lagi? Mas Espresso solo satu lagi,” seru Tian pada sang waitress tanpa menunggu jawaban dari Putri. Tangannya sibuk memainkan sendok pada putaran kopi sebelum akhirnya kopi itu berpindah tangan.  “Aku coba yang ini saja, yang baru nanti untukmu.”

“Jangan buru-buru seperti itu. Menikmati kopi itu tidak sembarangan. Ada seninya!” Tian berpetuah. Ia tidak nampak seperti seorang mahasiswa hukum, melainkan lebih mirip dengan sales kopi. “Minum kopi akan terasa nikmat kalau kau minum saat ia masih hangat. Kau tiup dulu kopimu, dan rasakan asap kopi menyembul ke wajahmu. Tarik nafasmu dalam-dalam dan rasakan wangi kopi itu mulai membayangi pikiranmu untuk segera menegaknya.”

Putri diam. Ia tidak mengikuti aturan-aturan yang disampaikan Tian. Kopi di mejanya masih utuh. Tapi asap yang mengepul sudah semakin sedikit, tandanya kopi semakin dingin. Ia mengambil kuping cangkir yang berisi kopi itu dan menempelkan bibir cangkir ke mulutnya. Kopi itu dirasanya sudah sampai di kerongkongan. Ia menarik cangkir itu, terlihat seperti berfikir sebentar, dan kemudian meminumnya lagi.
Mata Tian memperhatikan Putri yang sedang meminum kopi. Dilihatnya kopi dalam cangkir itu sudah berkurang setengah. Wanita ini bukannya tidak suka kopi, rutuknya dalam hati.

“Kau,” kata Tian terheran-heran saat melihat isi cangkir yang diletakkan di meja oleh Putri sudah kosong.
“Sekarang, kau jelaskan padaku apa korelasinya kopi dengan ketenangan?” kata Putri akhirnya setelah ia berhasil menghabiskan satu cangkir kopi.

Langit mulai memerah, jauh berbeda dengan rona merah di pipi Tian. Ia menahan ketawa bukan main mendengar pertanyaan sahabatnya. Mana dia tau tentang korelasinya kopi dengan ketenangan, ia hanya tau rasa kopi sangat nikmat dan itulah yang membuatnya merasa senang meminum kopi.

“Apa yang kau rasakan saat kau meminum kopi barusan? Manis?”

“Tidak. Aku merasakan kopi itu sangat pahit, apalagi saat mulai masuk kerongkonganku. Rasanya aku tidak bisa bernafas. Pahit sekali. Tadinya mau kumuntahkan, tapi tidak jadi.”

“Itulah sebabnya aku memintamu meminum kopi ini. Kau baru akan tau apa artinya kehidupan saat air kental hitam pekat ini mulai mengenai lidahmu. Karena tidak selamanya hidup itu seperti lollypop. Tidak selamanya hidup itu manis." Ia menyeka helaian rambut yang menutupi sebelah mata Putri. Dilihatnya mata itu sedang memperhatikannya dalam-dalam. Seperti mencari pembenaran akan semua kata-katanya. "Aku benar kan?" katanya kemudian. Kedua rahangnya mengeras. Wajahnya terlihat gugup ketika sepasang mata itu belum juga memalingkan pandangannya.

"Lalu, korelasinya apa kalau meminum kopi bisa membuatmu tenang? Kenapa dalam sehari kau bisa menghabiskan lebih dari dua cangkir kopi?" 

"Beban pikiran yang membebani hidupmu jadikan dia sebagai kopi yang kau telan. Pahit, tapi biarkan itu mengalir sampai nanti ke perut lalu menjadi kotoran yang kau keluarkan setiap paginya.”

Keduanya terdiam. Bukan jawaban seperti itu yang diinginkan Putri. “Ih Tian udah puitis-puitis endingnya bikin ngedrop deh,” rutuk Putri. Matanya menyipit seolah meminta keseriusan dari laki-laki itu. Walau terkesan nyeleneh, tapi jika dicerna dengan baik, kata-kata Tian memang benar. 

“Itu serius,” kata Tian. Putri menunggunya bicara dengan seksama sambil memperhatikan alis Tian yang terangkat seolah menampakkan keseriusan. “Intinya, kau harus merasakan dulu bagaimana rasa pahit, baru kau akan bisa menikmati rasa manis.”

Aroma kopi seketika menyergap hidung keduanya. Seolah-olah setuju dengan hasil diskusi kecil mereka.


LIFE IS SHORT, ENJOY YOUR COFFE.

No comments:

Post a Comment