Hujan. Selamat datang kembali.
Hatiku seperti pendopo kala itu. Hujan datang dan kau mencari tempat untuk berlindung (sementara). Setelah ia menyudah kau putar arah, tapi untukku kau belum juga pindah. Masih singgah, bahkan ketika aku ingin kau untuk tinggal.
Hujan dahulu memaki pada angin karena membuatku semakin dingin. Kata angin kepada hujan, aku tidak merasakan dingin. Kala itu tanganku menyentuh besi yang berkarat, tapi genggamanku semakin kuat. Tak ada sedikitpun kurasa meski buku-buku jemariku sudah memutih. Aku seperti mati rasa. Syarafku seolah tak berfungsi. Tak ada lagi yang kurasa selain pada getir yang kautaruh.
Pada gemericik hujan aku bercerita tentang kau yang pergi dan tak berniat kembali. Sejak kemarau kemarin , dan kita sama-sama menunggu hujan Kalau kau keberatan menyebut kita, biar kukatakan aku saja. Kau tau, aku berkisah tentang hujan adalah kamu dan akulah senyawa petrichor. Ya, akulah aroma yang tak mungkin ada jika kau tak datang. Saat seharusnya kau pulang dan malah menghilang.
Pada gemericik hujan aku bercerita tentang kau yang pergi dan tak berniat kembali. Sejak kemarau kemarin , dan kita sama-sama menunggu hujan Kalau kau keberatan menyebut kita, biar kukatakan aku saja. Kau tau, aku berkisah tentang hujan adalah kamu dan akulah senyawa petrichor. Ya, akulah aroma yang tak mungkin ada jika kau tak datang. Saat seharusnya kau pulang dan malah menghilang.
Burung gereja tak pernah mengutuk hujan mesti ia suntuk tak bisa terbang. Seperti juga jendela berongga, ia tak pernah membenci angin yang mengetuk memaksa masuk. Aku juga. Meski seringkali hujan membawamu berlari pada ingatanku, dan menjadi salah satu hal yang paling kubenci, ia pernah menjadi satu-satunya yang tahu aku pernah menangisimu. Dengan tulusnya ia meminta ribuan kawannya menyamarkan tangisanku. Sampai pada saatnya kepalaku tegak dan tak ada yang sadar bahwa yang mengalir dirahangku adalah air mata.
HUJAN, AKU RINDU. KAU TENTU TAU :')
HUJAN, AKU RINDU. KAU TENTU TAU :')
No comments:
Post a Comment